Aku pernah dengar sebuah kalimat; The more you know about someone, the less you love them. Sampai detik ini aku masih sering merenungi barisan kata tersebut setiap melihat Javi.
Kita sudah mengenal sedari SMA. Javi ini teman sekelas Mahika dan Laila selama tiga tahun (mereka temanku sejak masih memakai seragam putih-biru). Nggak ada yang spesial sih. Dulu kelas kita berseberangan, dan mungkin juga karena Javi merupakan teman dari temanku, kita jadi sering nggak sengaja bertemu.
Dari awal masa orientasi dengan rambut cepak serta papan nama berbentuk buah, Javi sudah menjadi pusat perhatian. Makin bertambahlah jajaran fans beratnya seiring berjalannya waktu. Harus kuakui, Javi memang typical yang mudah untuk dijadikan sasaran crush kita bersama. Sifatnya yang sopan dan nggak banyak omong. Pintar, rajin, dan tidak sombong. Lengkap. Persis seperti wejangan ibu-ibu komplekku tiap anak gadisnya pulang bersama pacar yang nggak sesuai harapan.
Dan tentu saja aku masuk ke dalam golongan orang-orang lemah tersebut. Javi terlalu mirip seperti cowok-cowok teenlit yang bukunya kerap aku baca setiap weekend. “He’s just too good to be true,” begitu kata Yuriko waktu Javi berhasil memenangkan olimpiade matematika yang entah ke berapa.
Kalau dilihat menurut jenisnya, fans Javi ini terbagi menjadi dua golongan. Golongan yang bergerilya terang-terangan dan yang bersembunyi di bunker bawah tanah. Aku termasuk golongan kedua. Alasannya? Simply karena aku malu. Aku nggak seperti Laila yang kalau naksir cowok bisa bikin satu sekolah tahu. Menyodorkan sebatang coklat lengkap dengan surat tulisan tangan yang isinya hasil dari bolak-balik kamus bahasa inggris semalaman. Atau menyerukan nama si cowok keras-keras waktu liga sepak bola sekolah, padahal jelas-jelas dia adalah pemain lawan. Aku lebih suka saat kita nggak sengaja bertemu di koridor kantin, saling melirik lalu melempar senyum singkat. Atau waktu kita berdua sama-sama menuju ruang BK untuk konseling jurusan kuliah. Aku suka saat dia menyebut namaku lengkap, bertanya kabar, walaupun ucapannya akan berakhir setengah detik kemudian.
Aku bahkan nggak sadar sejak kapan kita dekat. Mungkin setelah Javi mengantarku pulang selepas latihan basket karena Laila menghilang tiba-tiba. Bisa juga karena beberapa kali aku menemani Yuriko latihan band yang salah satu personilnya adalah Javi. Atau mungkin juga setelah sore itu, saat Javi memanggil namaku dari balik pintu ruang musik. Cukup nyaring sampai membuat gema di koridor yang memang sepi,
“Rumi, gue boleh minta ID Line lo?”
Time flies so fast. Secepat lembaran kertas soal try out yang kembali aku tutup karena mulai muak mengerjakannya. Kepalaku panas, jadi satu-satunya yang terpikir adalah pergi ke kantin untuk membeli sebotol air mineral dingin.
Seteguk, dua teguk, sampai nggak terasa setengah isi botol nyaris tandas. Aku agak terbatuk waktu menemukan Javi beserta dua bolongan di pipinya sudah berdiri tegak di depanku. “Hey,” sapanya.
Aku tersenyum singkat. Meski waktu istirahat masih tersisa 10 menit – khususnya di koridor kelas 12 – nggak banyak siswa yang berkeliaran di luar kelas. Mungkin karena hari ujian sudah dekat, jadi mereka memilih bertobat. Atau justru ingin berlama-lama merekam kenangan yang tersisa di sekolah. Aku nggak tahu pastinya. Yang jelas kehadiran Javi di depanku sekarang ini agak mengherankan. “Nggak masuk kelas?” tanyaku.
“Tadi mau ke koperasi bentar, terus nggak sengaja lihat lo.”
“Oh…,” aku mengangguk kecil. “Yaudah gih, nanti keburu mulai kelas.”
Baru dua langkah berjalan, Javi sudah kembali memanggil, “Rum!” Aku mengangkat kedua alis bertanya.
“Mau ngomong sebentar boleh?”
“Boleh.”
Aku menahan kekehan karena kedua telinga Javi yang mendadak merah. Beberapa kali aku menjadi saksi mata fenomena lucu ini terjadi, meski sejujurnya aku lebih penasaran alasan di baliknya sih.
“Rumi, gue mau minta izin,” jelasnya tenang dengan kedua mata yang lurus menatapku. “I think I like you. Sorry kalo waktunya nggak bagus gini, tapi gue mau izin suka sama lo. Boleh?”
Aku pernah bertanya pada Mama, berapa lama waktu yang dia habiskan sampai menikahi Papa. Katanya singkat, hanya 4 tahun. Jawaban Mama berhasil menggiring pertanyaan di kepalaku. Lantas berapa lama waktu untuk aku dan Javi?
Terhitung sudah 7 tahun aku menyandang status ‘Pacar Javi’ sejak hari kelulusan sekolah. Mungkin, baik aku maupun Javi nggak pernah menyangka kita akan bertahan ‘selama’ ini.
Sifat kami berubah, begitu pula jumlah digit angka yang ikut bertambah. Laut saja mengalami pasang-surut tiap harinya, apalagi hubungan kami yang nyaris sewindu. Jeda yang ditimbulkan setiap pertengkaran kami kadang jadi waktuku untuk napak tilas. Kenapa di antara semua orang – untuk pulang – aku selalu memilih Javi?
Mungkin karena Javi adalah orang paling sabar yang pernah aku kenal. Bahkan terkadang terlalu sabar untuk aku yang keras kepala. Waktu kita terpaksa harus Long Distance Relationship di tahun pertama berpacaran, aku kerap uring-uringan. Entah berapa kali kalimat Kita putus aja ya, Jav hampir terlontar. Tapi urung saat melihat wajahnya yang lelah masih sempat membuka aplikasi facetime. Dulu, aku takut Javi bertemu perempuan lain di Manchester yang lebih baik dariku. Later I thought about it, I couldn’t project my insecurities onto Javi. I believe in him, so does he. Aku ingat Javi selalu bilang di akhir telepon kita, “Because we can attract what we fear. Please, fear of loving me only.”
Hubungan kami memang nggak pernah semulus ekspektasi orang. Aku sering dengar kalimat berisi sanjungan mepet sindiran ataupun pertanyaan soal kisi-kisi awet berpacaran saat reuni sekolah. Jawabanku pun sudah seperti template tiap tahunnya, “Sabar aja sih,” nggak lupa dengan tawa canggung yang nggak lama bikin mereka kabur.
Tapi justru begitu kenyataannya.
Otakku saja nggak mampu menemukan nama laki-laki lain yang akan betah dengan tingkah sembronoku. Belum lagi soal Papa…
Papa itu orang yang keras. Punya anak dua yang kebetulan perempuan semua membuatnya secara nggak sadar berlaku bak jendral militer tiap aku maupun Mbak Sashi pulang bersama laki-laki. Kriterianya ketat dan pantang kompromi.
Pernah suatu hari waktu Javi pulang karena summer break, dia sengaja datang ke rumah tanpa sepengetahuanku. Tingkah impulsifnya ini berakhir celaka. Papa yang baru saja tiba setelah dinas satu bulan di luar kota langsung mengamuk waktu melihat sesosok laki-laki antah berantah berdiri di depan rumahnya dengan sekotak coklat dan martabak. Bukan hanya interview macam HRD, Javi lebih terlihat seperti sedang diinterogasi oleh polisi. Aku sudah berpikir mungkin Javi akan minta putus setelah sampai di rumah atau lebih parah langsung diblock, tapi nggak. Cowok itu justru kembali datang ke rumah esok harinya. Membawa tanda pengenal lengkap serta CV yang kontan membuat aku, Mbak Sashi dan Mama geleng-geleng kepala.
Papa masih tetap dingin kepada Javi, bahkan sampai bertahun-tahun setelahnya. Walaupun nggak separah pertama kali, aku tetap mempertanyakan sifatnya yang nggak pernah berubah itu. Jawabannya pun singkat, “Suruh pacarmu itu menemui Papa waktu sudab mendapat ijazah lengkap, baru bisa Papa tinjau lagi prospek kedepannya.”
Benar saja, setelah hari kelulusannya dan kembali ke Indonesia, tempat pertama yang Javi datangi setelah rumahnya adalah kantor pribadi Papa. Entah apa yang mereka bicarakan – karena sampai hari ini pun Javi enggan menjawab setiap aku bertanya – tapi hubungan Papa dan Javi mulai mencair. Berawal dari undangan makan malam ketika Papa pulang dinas sampai ajakan menjadi teman main golfnya, Javi kini nggak pernah luput terselip namanya disetiap obrolan kami.
Sayang, keberuntunganku belum menjalar sampai Mbak Sashi. Papa masih menolak kehadiran Adrian sampai detik ini. Apalagi ditambah sifat Mbak Sashi yang sama kerasnya dengan Papa. Dia lebih memilih nggak pulang kalau Papa mulai bertindak seenaknya. Ditambah kehadiran Mas Seno – anak teman Papa – yang seakan didorong untuk menjegal presensi Adrian.
“Rumi!” aku tersentak karena tiba-tiba wajah Javi hanya berjarak 5 centi dariku.
“Ngagetin aja! Kenapa?”
“Kamu yang kenapa? Aku cuma nanya mau ditaburin cheddar atau enggak tapi kamu mikirnya sampe Antartika.”
“Oh…,” aku mengedip bingung. Seingatku tadi Javi masih berdiri di balik pantry namun kini sosoknya sudah bertolak pinggang di depanku. “Mau ditabur cheddar.”
Keningnya masih berkerut, tapi tetap mengangguk mengiyakan. “Ngelamunin apa sih?” tanya Javi sambil cekatan memarut keju. “Weekend nggak usah mikirin kerjaan kantor dulu.”
“Siapa juga yang mikirin kerjaan.”
“Ya terus?”
Aku menggeleng. Lebih tertarik pada caesar salad buatan Javi di atas piring. “Enak banget…” mataku terasa panas, ada bulir air yang menumpuk di pelupuk. Respon tubuhku memang aneh, seolah hangat di kerongkongan waktu makanan masuk langsung menjalar ke saraf mata.
Cowok berkemeja hitam di hadapanku ini tersenyum teduh, tangannya mengusap puncak kepalaku pelan. “Makan yang banyak kalo gitu. Nanti aku buatin lagi buat kamu sarapan.”
Sambil mengunyah, pandanganku tertuju pada halaman samping yang kata Javi rencananya akan dibuat menjadi green space. Lumayan lebar sehingga bisa diisi banyak tanaman.
Aku pertama kali melihat rumah ini waktu masih menjadi lahan kosong. Sengaja dibeli Ayah Javi atas permintaan Bunda yang nggak mau tinggal berjauhan dengan anak tunggalnya. Javi membangun rumah ini sedikit demi sedikit. Setiap sudutnya adalah hasil kerja otak Javi. Meski begitu, ada 30% bagian yang merupakan isi kepalaku.
Rumah ini adalah salah satu bukti kenapa aku masih bersama Javi sampai sekarang. Kita berdua bukan lagi anak SMA yang jam konselingnya digunakan untuk berpikir keras mau kuliah di mana. Aku jelas tahu ke mana tujuan Javi. Aku paham kenapa dia selalu ingin menyisipkan pendapatku di balik rencananya yang aku tahu sudah utuh.
“Genjavi,” panggilku yang lantas mendapat atensi penuh darinya. “Gimana kalo rumah ini udah siap, tapi orang yang mau tinggal di dalemnya belum?”
“You already have the key, Rumi. You can come when it’s the right time. We can wait.”
Aku nggak paham bagaimana Javi selalu berhasil membuatku berjalan makin jauh tanpa ada niat memutar haluan. It doesn’t matter how long I’ve known him, 20 seconds or 20 years. It will never be less.